Galaksi
berdiri di tengah ruangan yang sengaja dibiarkan tanpa penerang. Supaya
dia bisa menyembunyikan tangisan yang meleleh di kedua belah pipinya.
“Jadi laki-laki harus kuat!” Kalimat yang diingatnya itu justru membuat
kedua kakinya kehilangan tenaga. Luruh ke lantai dengan isak yang tak
tidak lagi malu-malu disimpannya hingga membuat dadanya seakan mau
meledak.
“Kenapa harus dia, Tuhan?”
Setelah sekian lama menahan diri untuk menggugat karena tahu itu tak pantas, dia akhirnya bertanya.
Tak ada jawaban.
Tidak akan pernah ada jawaban lantang.
Hanya
waktu dan penerimaan yang membuatnya mengerti, mengapa dia harus pergi
begitu cepat. Sebelum puas mengecapi bahagia bersamanya.
Tapi
tak ada ruang untuk mengerti di dalam benak juga pikirannya. Galaksi
yang ditinggal pergi mulai merana. Direngkuh kesepian yang membuatnya
kehilangan satu keyakinan: cepat atau lambat, setiap yang hidup pasti
akan mati.
***
Adzan
subuh berkumandang dari masjid di ujung gang. Galaksi masih membeku di
lantai dingin di dalam rumahnya yang sunyi. Tak ada lagi dia yang
membangunkannya dengan bisikan sayang. Menarik tangannya ketika dia
lebih memilih memeluk guling. Menyibak selimutnya saat dinginnya udara
membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur.
Keriuhan di awal hari yang membuatnya rindu setengah mati.
Galaksi
bergelung, berselimut hening yang menyakitkan. Mengabaikan panggilan
penuh cinta yang bahkan melebihi cinta yang dia berikan untuknya. Dia
menutup matanya rapat-rapat, mengamini rasa kantuk yang baru datang
setelah semalaman dia dibiarkan terjaga sendirian.
***
Dia mengira kesedihan itu sepenuhnya utuh miliknya.
“Tidak akan ada bedanya, siapa yang pergi lebih dulu.”
“Jelas
ada bedanya,” sanggah Galaksi. Mengurai pelukannya dari pundak ringkih
yang semakin hari semakin menambah kekhawatirannya. “Lebih baik aku yang
pergi lebih dulu.”
Dia
tersenyum. Menahan mulutnya untuk berkata bahwa dia tidak sanggup
ditinggal pergi. Tuhan menjawab doanya. Karena itulah dia berusaha tak
menangisi vonis yang dia ketahui tiga bulan yang lalu. Meski akhirnya
airmata itu tumpah ruah di balik pintu kamar mandi yang dikuncinya
rapat-rapat.
“Tuhan
sudah memilihku. Waktunya pun sudah ditentukan.” Kali ini dia tidak
ingin mengalah. Esok lusa tak akan ada waktu lagi untuk bertengkar.
“Tidak
ada yang tahu sampai itu benar-benar terjadi,” jawab Galaksi berdiri
dari duduknya dengan hati kesal. “Setidaknya tunjukkan sedikit
keengganan berpisah dariku.”
Dia tersenyum, sekali lagi. Begini lebih baik. Sepatah kata tidak rela hanya akan memberatkan hati yang tengah bersiap untuk melepaskan.
“Perpisahan kita hanya sementara….”
Dia
menghentikan kalimatnya ketika Galaksi melangkah menjauh
meninggalkannya. Dia menghela napas panjang. Seuntai doa kembali dia
rapalkan. Lapangkan hatinya, Tuhan.
****end****
:: Based on Maher Zain’s Song - So Soon ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar