Minggu, 23 Desember 2012

Ketika Sepatu Lucy Hilang



How could I live without my heels?” desahnya sedih. Rautnya tidak jauh beda dengan seorang pecinta kucing yang mengetahui angora kesayangannya telah mati.

Aku bisa mengerti kalau itu kucing tapi ini sepatu!


“Relain aja, Cy. Sepatu ini, bukan nyawa kamu,” kataku sembari menepuk-nepuk tangannya. Aku tahu, sebaris kalimat itu sama sekali bukan kalimat bernada menghibur yang langsung bisa mengubah raut sedih Lucy menjadi senyuman. Aku memang bukan tipe orang yang pandai menenangkan hati yang gundah. Aku hanya ingin dia menerima kenyataan kalau sebelah sepatu kesayangannya sudah raib entah kemana.

Hello! Yang kamu bicarakan itu sepatu Christian Louboutin. The most gorgeous shoes I ever had!” sahutnya ketus. “Mana bisa aku rela begitu saja. Kamu tahu, kan... aku sampai bela-belain enggak ke salon dua bulan penuh, enggak beli baju baru, enggak ikutan nongkrong kalian ke kafe favorit kita. Demi sepatu itu!”

Aku menghela napas.

Mengerti dengan sangat semua pengorbanan yang dia lakukan. Tapi masih sukar untuk membenarkan raut kesedihan yang teramat sangat di wajah pualamnya.

“Kamu enggak ngerti. Buat aku, sepatu bukan hanya sekedar alas kaki.”

Aku menghela napas. mencoba diam saja meskipun hatiku gatal ingin kembali berargumen dengannya.

“Ingat enggak Marilyn Monroe bilang apa?” Aku menggeleng walau aku hapal kata-katanya di luar kepala.

Give a girl the right shoes and she can conquer the world.” Dia mengatakannya dengan penuh penghayatan. “Perempuan dengan sepatu yang tepat bisa menguasai dunia.”

Kalau saja perempuan dan sepatunya bisa mendamaikan dunia tanpa perang dan segala macam kejahatan, mungkin sejak lama aku setuju dengan quote andalannya itu.

“Ini kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan,” desahnya penuh penyesalan. Kalimat yang sungguh membuatku ingin sekali menjitak kepalanya dengan sebelah sepatunya yang berwarna merah dan terbuat dari kain beledu. Sepatu yang memang cantik dan sexy, tapi tidak seharusnya diperlakukan seperti makhluk bernyawa.

“Seharusnya aku enggak menaruh sepatuku di sembarang tempat,” keluhnya lagi sembari membaringkan diri di atas sofa. Sepasang matanya yang berlensa cokelat menatap kosong ke arah langit-langit. Dia mendekap erat boneka Shaun the Sheep di dadanya. Bulir-bulir airmatanya jatuh perlahan. Ini sudah kali ke seribu dia menangis karena sepatunya yang hilang itu.

“Kamu yakin sudah mencarinya baik-baik?”

“Iya. Ke segala penjuru rumah ini.” Dia menyahut cepat. “Padahal aku cuman mengangin-anginkan sepatu itu di dekat jendela.”

Aku mengetuk-ngetukkan jari telunjukku di dagu.

“Kalau pencuri, dia tidak akan menyisakan satu.”

“Mungkin dia pencuri yang aneh.”

Aku tertawa.

“Sebodoh-bodohnya pencuri, dia juga tahu kalau mengambil sepatu hanya sebelah kirinya saja enggak akan ada nilainya. Memangnya ada penadah yang mau membeli sepatu cuman sebelah?”

Lucy menegakkan tubuhnya.

“Siapa tahu ada orang yang kehilangan sebelah sepatunya seperti aku. Dia menyuruh orang mencari sepatu yang sama lalu mencurinya. Biar sepatunya kembali sepasang.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Teori yang sukar untuk diterima. Kecuali kalau orang itu sama tergila-gila dengan sepatu high heels dengan merk ternama yang harganya bisa dipergunakan untuk membiaya sekolah anak-anak kurang mampu.

Aku berdiri dari dudukku.

Sebaiknya aku biarkan saja dia dengan kesedihannya. Karena apa pun yang aku katakan, tidak akan mengubah perasaannya menjadi lebih baik. Bisa jadi malah sebaliknya.

Aku membuka penutup mesin cuci. Pakaianku yang sejak tadi sudah kelar dicuci menunggu untuk dijemur. Gara-gara Lucy yang kehilangan sepatu aku harus berjibaku dengan teriknya sinar matahari di tempat menjemur yang berada di tingkat atas.

Tiba di anak tangga terakhir, langkahku terhenti.

“Lucy, pencuri sepatumu sudah ketemu,” teriakku sambil mendekati si manis yang tertidur pulas di samping sepatu Lucy yang permukaannya tak lagi mulus, penuh dengan goresan kuku si kucing belang tiga milik tetangga sebelah.



PS: bentuk asli Missing Heel :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar