Rabu, 12 Juni 2013

[cerpen] Missing Heel



Tidak ada yang mengalahkan kegilaan Lucy pada sepatu.
Di antara orang yang kukenal, she is totally shoe fetish. Meskipun belum sekaliber Danielle Steel yang punya enam ribu pasang sepatu Christian Louboutin atau Keira Knightley yang bahkan memiliki sepatu yang tak pernah keluar dari kotaknya karena tidak sesuai ukuran kakinya.
Lucy baru memiliki empat puluh tujuh pasang sepatu, jumlah yang cukup abnormal untuk ukuran orang normal. Walaupun harganya masih berkisar ratusan ribu, tetap saja bikin orang menggeleng-gelengkan kepala melihat kesukaannya pada sepatu.
Rak-rak sepatu, bagian atas lemari pakaian, di bawah tempat tidur dan di belakang pintu kamarnya menjadi tempat penyimpanan sepatu yang dibelinya tanpa berpikir dua kali. Kalau membeli sepatu, Lucy selalu menggunakan otak kanannya, cenderung impulsif. Beda dengan pengeluaran lainnya yang membuat keningnya berkerut-kerut dan bolak balik menghitung menggunakan kalkulator mini miliknya. Dia tidak pernah mengeluh mengeluarkan semua isi dompetnya, asalkan bisa membawa pulang sepatu yang disukainya. Lucy termasuk perempuan yang bersedia ‘hidup susah’ demi sepatu incarannya.
Beda denganku yang tidak akan pernah mau bersusah payah mengencangkan ikat pinggang demi sepasang Chiarana yang merahnya begitu menggoda. Mungkin aku akan menyesal tujuh hari tujuh malam kalau membawanya pulang dari Butik Christian Louboutin.
Tapi tidak ada yang bisa mencegah Lucy melakukannya.
Lucy selalu percaya: Good shoes take you to good places.
Chiarana menjadi simbol kebanggaannya. Dengannya, Lucy melangkah lebih percaya diri, kadang kala terlihat angkuh. Seperti sengaja menyombongkan diri. Sebab banyak perempuan membeli tiruan sepatu bermerek nama desainer Prancis itu atau yang sengaja mencat merah sol sepatunya. Bahkan Tara Haughton menjual stiker merah tahan air di online shop-nya –Rosso Solini– yang bisa membuat sepatu biasa menjadi sekeren sepatu yang dikenal dengan sol merah menyalanya itu.
Sedangkan aku beranggapan, sepatu yang baik tidak akan ada artinya kalau aku hanya mengandalkan apa yang mengalasi kakiku. Lucy kerap lupa kalau dia cerdas dan cantik. Dua hal yang terabaikan jika sepatu yang dikenakannya dianggap tidak pas.
Yah! Kami memang memiliki pandangan yang berbeda tentang sepatu. Aku lebih memilih sepatu karena kegunaannya sedangkan Lucy lebih dari itu. Tak jarang, sepatu bisa merubah suasana hatinya, yang baik menjadi buruk atau sebaliknya. Seperti hari ini. Sepanjang siang ini dia berbaring di atas sofa cokelat di ruang tamu kontrakan kami tanpa semangat. Berkali-kali aku menyuruhnya mandi, tapi dia tidak peduli.
How could I live without my heels?” desahnya sedih. Entah berapa banyak dia sudah mengulang kalimat itu di hadapanku. Rautnya tidak jauh beda dengan seorang pecinta kucing yang mengetahui angora kesayangannya telah mati.
Aku bisa mengerti kalau itu kucing tapi ini sepatu!
Satu jam yang lalu, Lucy mengabarkan kalau dia kehilangan sepatu kesayangannya. Sepatu berbahan suede yang didesain Monsieur Louboutin. Satu-satunya sepatu asli di antara sepatu abal-abal yang kerap dikejarnya di toko-toko online. Dia sudah membongkar setiap sudut rumah kontrakan kami. Tapi sebelah sepatu itu tak kunjung dia temukan. Raib secara gaib.
She is totally depressed.
Berhenti mencari lalu mengeluh sepanjang waktu.
“Relain aja, Cy. Sepatu ini, bukan nyawa kamu,” kataku sembari menepuk-nepuk punggung tangannya.
Dia sontak menegakkan tubuhnya.
Hello! Yang kamu bicarakan itu sepatu Christian Louboutin. The most gorgeous shoes I ever had!” sahutnya ketus, membayangkan sepatu bersol merah kesayangannya kini hanya tinggal sebelah. Wajahnya tak lagi menyembunyikan kemarahan yang ditujukannya padaku. “Kalau saja Sherlock Holmes atau Detektif Conan eksis di muka bumi ini, aku sudah meminta bantuan mereka mencari sepatu. Lapor polisi bakal percuma,” katanya garang.
Aku mengerti kalau dia marah.
Kehilangan sepatu bernilai jutaan rupiah memang bukan perkara kecil. Aku cukup salut melihat reaksinya yang masih bisa menahan diri untuk tidak memecahkan piring atau berteriak-teriak histeris. Hanya melengkuh di atas sofa dengan wajah murah dan mata bengkak sehabis menangis.
Aku mengalihkan pandangan, menghindari tatapan tajam matanya yang menghujam. Kata-kataku tadi memang tidak tepat. Aku bukanlah jenis orang yang pandai menenangkan hati yang sedang gundah. Malah kadang-kadang, bisa membuat orang yang sedang kesal menjadi kalap.
“Mana bisa aku rela begitu saja. Kamu tahu, kan... aku sampai bela-belain enggak ke salon dua bulan penuh, enggak beli sepatu baru, enggak ikutan nongkrong kalian ke kafe favorit kita. Aku juga mengambil dana darurat yang seharusnya aku pakai untuk keperluan yang lebih penting. Demi sepatu itu!”
Aku menghela napas. Aku berusaha menahan mulutku untuk mengatakan kalimat yang akan kusesali sesudahnya. Menyalahkannya hanya akan memperumit keadaan. Padahal aku ingin sekali bilang, “salahmu sendiri!”
Sudah sejak lama aku gerah dengan kegilaannya pada sepatu. Sejujurnya, aku mensyukuri hilangnya sepatu Lucy. Mungkin kejadian ini membuatnya kapok membeli sepatu dengan harga selangit. Syukur-syukur kalau bisa berhenti membeli sepatu dalam satu dasawarsa ke depan.
“Kamu enggak bakalan ngerti. Buat aku, sepatu bukan hanya sekedar alas kaki.” Dia mendesah. “Tapi juga identitas diri,” katanya. Seolah-olah sedang hidup di zaman Mesir Kuno yang menjadikan sepatu sebagai ukuran status sosial seseorang. Karena hanya bangsawan dan orang-orang kaya saja yang bisa membelinya.
Yah, memang... Christian Louboutin atau sepatu bermerk lainnya bukan diciptakan untuk orang-orang yang buat makan saja sudah susah. Walaupun tidak semua orang berduit juga bersedia merogoh koceknya berjuta-juta rupiah hanya untuk sepasang sepatu berhak dua belas senti, yang jika dipakai berjalan akan membuat kaki terasa pegal.
Meskipun Carrie Bradshaw mengatakan setiap perempuan memiliki hak untuk mengenakan sepatu yang diinginkannya, kurasa lebih bijak jika tidak menggunakan sepatu berhak tinggi setiap hari. Ah, kedengarannya memang membosankan. Tapi fakta dari hasil penelitian yang kubaca, membuatku berpikir ulang mengganti sepatu flat-ku dengan sepatu berhak agar ukuran tubuhku menjadi lebih tinggi. Karena jika dipakai setiap hari, bisa memperpendek otot betis hingga tiga belas persen dan kaki bagian bawah mengalami kram dan membuat gerak kaki terbatas.
Mengerikan!
Aku tidak mau hidupku berantakan gara-gara sepatu berhak tinggi.
Tapi kebanyakan perempuan sudah menanamkan doktrin di kepalanya kalau perempuan seksi dan cantik itu kalau punya kaki yang panjang dan memakai sepatu berhak tinggi. Seperti yang menjadi tujuan Louboutin mendesain sepatu-sepatunya: "to make a woman look sexy, beautiful, to make her legs look as long as [he] can."
Jadi walau kaki pegal, perempuan-perempuan itu tetap rela memakainya.
“Kehilangan sebelah sepatu itu, seperti kehilangan separuh jiwaku,” gumannya dengan mata berkaca-kaca.
Aku menghela napas. Mencoba diam saja meskipun hatiku gatal ingin kembali berargumen. Pasti hanya akan memperburuk hubungan kami. Kurasa, Lucy lebih mencintai sepatu-sepatunya ketimbang aku, sepupunya.
“Aku lebih rela kehilangan sepatu lainnya asalkan bukan sepatu itu. Ini lebih dari sekedar mempersoalkan sepatu yang harganya bisa beli kerupuk se-truk. Tapi soal kebanggan, prestise, eksistensi....”
Aku melongo.
Ternyata persoalan sepatu yang hilang lebih serius daripada harga sembako yang kerap melonjak atau menghilang dari pasaran.
Lucy mengakhiri ceramahnya dengan satu tarikan napas panjang. Wajahnya yang mendung jauh dari kata cerah. Kurasa, selama sebelah Chiarana miliknya belum dia temukan, dia tidak akan bisa tersenyum lagi.
“Ingat enggak Marilyn Monroe pernah bilang apa?”
Setelah terdiam cukup lama, Lucy kembali bukan suara. Aku menggeleng walau aku hapal kata-katanya di luar kepala. Quote itu ditulisnya di selembar kain dan terpajang manis di kamar tidurnya. Tepat di atas cermin oval, tempat Lucy berkaca setiap harinya.
Give a girl the right shoes and she can conquer the world.” Dia mengatakannya dengan penuh penghayatan. “Perempuan dengan sepatu yang tepat bisa menaklukkan dunia.”
Aku mendesah, agak sedikit kesal. Kalau saja perempuan dan sepatunya bisa mendamaikan dunia tanpa perang dan segala macam kejahatan, mungkin sejak lama aku setuju dengan quote andalannya itu.
“Ini kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan,” ucapnya penuh penyesalan. Kalimat yang sungguh membuatku ingin sekali menjitak kepalanya dengan sebelah sepatunya yang berwarna merah dan terbuat dari kain beledu. Sepatu yang memang cantik dan sexy, tapi tidak seharusnya diperlakukan seperti makhluk bernyawa.
“Seharusnya aku enggak menaruh sepatuku di sembarang tempat,” keluhnya lagi sembari kembali membaringkan diri di atas sofa. Sepasang matanya yang berlensa cokelat menatap kosong ke arah langit-langit. Dia mendekap erat boneka Shaun the Sheep di dadanya. Bulir-bulir airmatanya jatuh perlahan. Ini sudah kali ke seribu dia menangis karena sepatunya yang hilang itu.
Aku menghela napas.
Kesedihannya itu membuatku tidak jadi meninggalkannya. Padahal mesin cuci yang kugunakan sudah mengeluarkan bunyi beep tiga kali. Tanda cucianku sudah kelar. Aku duduk di dekat kakinya yang melekuk di atas sofa.
“Kamu yakin sudah mencarinya baik-baik?” tanyaku pelan. Mencoba untuk lebih mengerti. Perasaan orang yang kehilangan sesuatu yang disayangi layaknya orang yang sedang patah hati.
“Iya. Ke segala penjuru rumah ini.” Dia menyahut cepat. “Padahal aku cuman mengangin-anginkan sepatu itu di dekat jendela.”
Aku mengetuk-ngetukkan jari telunjukku di dagu.
“Kalau pencuri, dia tidak akan menyisakan satu.”
“Mungkin dia pencuri yang aneh.”
Aku tertawa.
“Sebodoh-bodohnya pencuri, dia juga tahu kalau mengambil sepatu hanya sebelah kirinya saja enggak akan ada nilainya. Memangnya ada penadah yang mau membeli sepatu cuman sebelah?”
Lucy menegakkan tubuhnya.
“Siapa tahu ada orang yang kehilangan sebelah sepatunya seperti aku. Dia menyuruh orang mencari sepatu yang sama lalu mencurinya. Biar sepatunya kembali sepasang.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Teori yang sukar untuk diterima. Kecuali kalau orang itu sama tergila-gila dengan sepatu high heels dengan merk ternama yang harganya bisa dipergunakan untuk membiaya sekolah anak-anak kurang mampu.
“Atau ada orang yang sengaja menyembunyikannya!”
Sepasang mata Lucy menyipit. Melihatku dengan tatapan curiga. Aku mendengus kesal karena tiba-tiba berubah menjadi tertuduh. Lucy tahu, aku memang tidak menyukai kegilaannya pada sepatu. Tapi aku tidak harus sejahat itu demi menyadarkannya.
“Bukan aku!” protesku kesal.
“Habis siapa lagi!”
“Bisa siapa saja, tapi bukan aku!” bantahku dengan nada tinggi. Aku tidak suka cara dia menatapku. Seperti benar-benar menuduhku telah menyembunyikan sepatunya. “Demi Tuhan, bukan aku yang mengambil sepatumu!”
Kami saling menatap tajam, dengan napas menderu kencang.
Perlahan-lahan, tatapan tajam Lucy meredup. Dia mengalihkan pandangannya lalu kembali berbaring di atas sofa cokelat. Ada buliran airmata yang jatuh di pipinya. Aku menghela napas.
“Maaf,” gumannya lirih.
Aku berdiri dari dudukku.
Jalan buntu yang kami tuju tak menghasilkan apa pun. Mungkin kami harus mengistirahatkan pikiran sejenak sebelum memikirkan cara untuk menemukan sepatu Lucy yang hilang.
Aku membuka penutup mesin cuci. Pakaianku yang sejak tadi sudah kelar dicuci menunggu untuk dijemur. Gara-gara Lucy kehilangan sepatu, aku harus berjibaku dengan teriknya sinar matahari di tempat menjemur yang berada di tingkat atas.
Tiba di anak tangga terakhir, langkahku terhenti.
“Lucy, pencuri sepatumu sudah ketemu,” teriakku sambil mendekati si manis yang tertidur pulas di samping sepatu Lucy yang permukaannya tak lagi mulus, penuh dengan goresan kuku si kucing belang tiga milik tetangga sebelah.

***

3 komentar:

  1. keren..!
    emang bener kt mas azis, ga nyangka mba fitri yg bikin ini hehe..
    suka, bnyk kalimat2 kerennya :)

    BalasHapus
  2. kekekkekke... casing-ku ga menyakinkan ya, Nath :D

    BalasHapus
  3. Udah pernah baca, tapi tetap masih suka :)

    BalasHapus