Jarum jam belum menunjuk ke angka sepuluh tapi kemacetan mulai mengular. Kendaraan yang hendak keluar dari area Balikpapan Plaza seperti tidak ada habisnya.
musim beralih lagi, seperti hatimu yang tak pernah menetap
langit perak membawa kabar tak sedap
menumpahkan secawan resah di setiap bulirnya yang jatuh menjejaki bumi
“How could I live without my heels?” desahnya sedih. Rautnya tidak jauh beda dengan seorang pecinta kucing yang mengetahui angora kesayangannya telah mati.
Aku bisa mengerti kalau itu kucing tapi ini sepatu!
Ga nyangka!
Itu yang terlintas di dalam pikiran saya ketika membaca inbox yang mbak Naminist Popy pagi tadi. Cerpen berjudul Missing Heel yang saya kirim tanggal 12 Oktober 2012 dimuat di majalah CHIC edisi 130 / 12 - 26 Desember 2012.
Finally, dapat kesempatan menikmati tanggal cantik itu juga: 12 12 12 #abaikan!
Perempuan itu meletakkan tas kerjanya di tepi tempat tidurnya
yang terlihat berantakan. Bocah berusia sembilan tahun itu terlelap dengan
posisi telentang sambil mendengkur lirih. Beberapa mainan berserakan di
sisinya. Perempuan itu tersenyum menatapi wajah malaikat yang ada di
hadapannya. Enggan membangunkannya meskipun dia ingin sekali memeluknya. Dia mendesah
panjang lalu memungut guling yang jatuh di atas lantai keramik.
Aku masih menyimpan
sepatu berpita biru yang kau hadiahkan padaku. Aku belum pernah memakainya
keluar rumah. Hanya sesekali mencobanya ketika berada di kamar sendirian. Awalnya aku tak berani melihat bayangan diriku
sendiri saat mematut diri di depan cermin. Aku terlihat aneh sewaktu mencoba memadu
padankan sepatu itu dengan pakaian yang aku punya. Entah! Rasanya selalu tidak
pas. Mungkin karena aku belum terbiasa atau memang hanya aku yang tak ingin
berubah.
Saya bukannya lagi kurang kerjaan. Apalagi mendadak menjadikan
satu-satunya alat komunikasi yang saya punya sebagai pajangan. Di dapur
pula. kekekeke... Tapi, cara inilah yang menjadi salah satu alternatif
yang bisa digunakan supaya saya bisa tetap menghubungi kerabat di luar
Samurangau. Meskipun akhirnya saya harus bolak balik setiap kali tanda
ada pesan masuk terdengar.
Seharusnya saya menuliskan ini begitu saya tiba di Balikpapan, ketika ingatan saya masih segar. Kadang-kadang, saking banyaknya hal yang saya pikirkan, ada bagian-bagian penting yang justru terserabut dari ingatan saya.
Kunjungan terakhir saya ke Samurangau sudah berlalu seminggu yang lalu. Saya harus menyerah akhirnya, pada kondisi tubuh saya yang semakin berkurang daya tahannya. Alhamdulillah, selama berada di sana, saya masih diberi kekuatan meskipun suara saya berubah 'seksi' kekekeke....
Keira terus berlari. Tak peduli luka kecil di kaki kirinya yang
berdarah. Luka akibat terjatuh ketika tergesa-gesa menuruni tangga.
Perihnya tak sebanding dengan perasaan yang meledak-ledak di di hatinya.
Tak akan pernah bisa sebanding.
“Hati-hati, Kei!” pesan Naomi panik ketika Keira menabraknya.
Buah-buah apel yang baru saja dibelinya di minimarket seberang jalan
berhamburan di lantai.
“Maafkan aku!” seru Keira terus berlari. Dia tak berhenti untuk
membantu Naomi yang bermuka masam karena membereskan kekacauan yang
dibuatnya. Sebenarnya dia ingin tapi tak ada waktu.
Fla meletakkan cangkir putih berisi kopi di depan Tegar. Suara
cangkir beradu dengan permukaan meja yang berlapis kaca membuat lelaki
itu mengangkat kepalanya sedikit lalu tersenyum sekilas. Jari-jarinya
kembali menari di atas keyboard. Membanjiri halaman putih ke sekian dengan kombinasi huruf yang membuat Fla mengalihkan pandangannya.
Dia tak mengerti benar apa yang tertulis di sana. Ada banyak istilah
asing yang membuatnya harus membuka kamus atau mencerca Tegar dengan
banyak pertanyaan.
Finally, saya menginap juga di rumah dinas salah seorang guru di Samurangau. Tadinya saya berpikir bakalan enggak bisa tidur nyenyak (seperti yang terjadi kalau saya menginap di camp Petrosea), tapi ternyata malah sebaliknya.
Hujan yang mendadak turun membuat lelaki itu menepikan motornya
di pinggir jalan. Perempuan berkemeja jingga yang bersamanya, sibuk
menutupi kepalanya dengan map plastik di tangan kanannya. Setengah
merutuk menghindari hujan, berteduh di depan toko bangunan yang pintunya
sudah tertutup rapat.
Galaksi
berdiri di tengah ruangan yang sengaja dibiarkan tanpa penerang. Supaya
dia bisa menyembunyikan tangisan yang meleleh di kedua belah pipinya.
“Jadi laki-laki harus kuat!” Kalimat yang diingatnya itu justru membuat
kedua kakinya kehilangan tenaga. Luruh ke lantai dengan isak yang tak
tidak lagi malu-malu disimpannya hingga membuat dadanya seakan mau
meledak.