Judul: Jodoh
Penulis: Fadh Pahdepie
Penerbit: Bentang Pustaka
Jumlah halaman: 245
Harga: eh, berapa ya? Ini belinya juga nitip.
Sampe tulisan ini dibuat juga masih belum terbayar :D
Untuk mereka yang bertanya-tanya tentang jodoh
Jujur, sebaris kalimat di lembar keempat ini
menohok hati. Saya dilanda kegamangan, mau meneruskan membaca atau tidak. Saya
sedang malas baper aja sehabis membaca buku ini. Tapi, Akhir Cerita Bahagia
membuat saya akhirnya memutuskan untuk meneruskannya saja. Selain saya sudah
bertekad selalu membaca buku-buku yang saya beli, saya juga kepengen mengurangi
tumpukan buku yang belum terlepas dari segelnya dan tentunya... mengisi blog
saya setiap harinya.
Nah, mumpung buku ini masih fresh from the oven, setidaknya saya bisa ikutan kekinian deh....
kekekeke...
Sena yang jatuh cinta pada Keara sejak usianya
masih enam setengah atau tujuh tahun. Pokoknya pada hari pertama masuk sekolah
dasar. Bocah yang rambutnya aja masih disisirin ibunya ini mendadak terkena
serangan jantung ringan hanya karena mendengar suara indah Keara saat
memperkenalkan diri. Lebay?!
Mungkin aku berlebihan tentang ini, tetapi
perasaan kita tentang cinta pertama selalu berlebihan, bukan?
Sena. Hlm.14
Sayangnya jalan cinta Sena dan
Keara tak semulus pipi barbie. Biarpun mereka ditakdirkan untuk selalu bersama.
Pasalnya selepas lulus SD, Sena dan Keara sama-sama memutuskan untuk meneruskan
sekolah ke pesantren Darul Arqam. Tau sendiri peraturan ketat di pesantren yang
melarang keras santriawan dan santriwati berhubungan dekat. Tapi ya namanya
juga anak muda lagi jatuh cinta, jangan pernah bilang jangan. Percuma. Mereka
lebih militan ketimbang pendukung capres. Mereka punya sejuta cara untuk menyampaikan
kerinduan. Lewat surat yang dititipkan pada emak-emak dapur atau mengetahui
dengan baik tempat-tempat mana saja yang bisa dijadikan titik-titik pertemuan
rahasia. Emang ya jatuh cinta bikin orang jadi cerdas.
Rindu barangkali semacam racun yang kita
racik dari kesendirian kita yang sunyi, dari tempat yang jauh, dari hilangnya
kesempatan untuk melihat senyum seseorang yang kita sayangi, dari pelukan yang
lepas, dari ruang-ruang kosong di antara jari-jemari, dari sebuah pesan yang
terlambat masuk ke ponsel, dari percakapan yang tergesa-gesa, dari apapun yang
membuat kita nelangsa.
Racun itu kemudian kita minum sendiri,
membuat dada kita jadi lemah dan mata kita berair...
Sena. Hlm.80
Sebagai anak pesantren,
melakukan ‘kesalahan’ semacam ini tentu saja membuat mereka merasa bersalah.
Namun apa daya. Cinta telah merasuk ke dalam sukma. Sena tak dapat melepaskan
diri dari Keara. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti berada dalam
garis edar Keara. Sena pergi. Pada awalnya sekedar merentang jarak agar dapat
menjaga diri dari hal-hal yang justru mereka inginkan, layaknya mereka yang
berpacaran. Namun sebuah kejadian tak terencana mengubah jalan cerita. Sena
menghilang dari kehidupan Keara.
Lalu, apakah mereka berjodoh?
Sepanjang membaca buku ini,
saya merasakan banyak emosi. Meskipun saya sedang tidak dimabuk cinta, saya
tetap bisa merasakan manisnya. Tersenyum-senyum membaca Sena yang ketiban cinta
bernama Keara. Tertawa sebab membayangkan Mitun Chakraborty dan Sridevi
menari-nari di taman bunga. Menghela napas saat Sena merasa gamang.
Berkaca-kaca ketika sampai pada halaman-halaman yang mengharukan. Justru setiap
barisnya kembali mengingatkan saya pernah punya perasaan yang meletup-letup
sedemikian indah. Menjadi lebih jatuh cinta lagi pada puisi-puisi Sapardi Djoko
Damono.
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri
-Pada Suatu Hari Nanti-
Dan akhirnya saya menemukan
jawaban dari: apakah kita berjodoh?
Kita berjodoh, Key. Untuk apa pun
alasannya, yang menyedihkan atau membahagiakan, yang bisa kita terima atau tak
bisa kita terima, yang termaafkan atau tak termaafkan.
Kita berjodoh karena takdir telah
mempertemukan kita di salah satu persimpangan waktu, membuat kita jadi lebih
dewasa, membuat hidup kita jadi lebih bermakna.
Sena. Hlm.244
Tidak ada komentar:
Posting Komentar