Rabu, 06 Januari 2016

[BOOK] Di Tanah Lada


Selama tiga hari berturut-turut, saya –tanpa berniat begitu–, memilih bacaan dengan tokoh anak-anak yang ditulis orang dewasa. Dari ketiganya, Ziggylah yang termuda.

Salah satu yang membuat saya tertarik membeli Di Tanah Lada, salah satunya karena novel ini pemenang II Sayembara Menulis DKJ 2014. Kenapa saya memilih nomor II? Ialah karena saya malah belum tahu siapa jawaranya dan saya belum berniat googling untuk mencari tahu jawabannya :D

Ialah Salva atau yang biasa dipanggil Ava –atau papa sering menyebutnya Saliva. Anak perempuan berumur enam tahun yang takut pada papanya. Karena dipikirnya, papa serupa hantu. Papa yang lebih menyukai peruntungan lewat dadu atau kartu. Hingga memilih menghabiskan uang warisan Kakek Kia –kakek kesayangan Ava yang menghadiahinya kamus saat ia berulang tahun yang ketiga– , dan menjual rumah untuk pindah ke Rusun Nero yang kumuh.

Namun di sanalah petualangan seru dimulai.

Ava bertemu dengan P. Anak lelaki yang selalu lengket dengan gitar karamelnya dan hanya menyanyikan satu-satunya lagu yang diketahuinya, Me. P yang masih sepuluh tahun seperti ksatria bagi Ava. Ia yang membantu memotong ayam dan menyuapi Ava yang belum mahir makan sendiri. Ia yang mau repot melakukan banyak hal untuk gadis kecil yang baru saja dikenalnya, lantaran ia menemukan teman senasib, sependeritaan.

P yang romantis, meskipun ia masih bocah.


Dia tampak gembira sekali, jadi dia mengatakan hal yang mungkin menurutnya merupakan satu-satunya cara untuk membuat orang lain juga bahagia:  “Kamu mau kue cubit, nggak?”

Gerobak tukang kue cubit berdiri di samping tempat fotokopi. Aku bilang, “memangnya kamu punya uang?”

Dia menggeleng. “Nggak,” katanya. “Tapi aku mau membelikan kamu semua kue cubit di dunia.”
(Ava & P, hlm.113)

Hanya P yang bisa membuat Ava rela belajar untuk bilang NGGAK dan mengikuti kemanapun bocah itu pergi.

Kemanapun...





Sebenarnya saya lebih suka membaca cerita anak yang bahagia. Sebab dunia mereka seharusnya indah. Tapi, pada kenyataannya, ada banyak anak-anak tak beruntung di dunia ini. Hidup dalam nestapa. Menderita luka-luka yang justru didapatkan dari mereka yang bernama ayah atau ibu.

Dan Di Tanah Lada, Ava dan P –seperti jutaan anak-anak lainnya– sibuk mereka-reka apa yang menjadi penyebab mereka ada tapi tak diinginkan. Penyebab mereka dilahirkan tapi ditelantarkan. Mereka mencari-cari alasan untuk tetap tinggal. Untuk menerima segala hal yang tak masuk di akal.

Alasan yang dirangkai Tuhan. Alasan yang sesungguhnya.
(Ava. Hlm.226)

Hingga akhirnya mereka terus dapat bertahan atau memilih menyerah.

 

2 komentar: