Selama tiga hari berturut-turut, saya –tanpa
berniat begitu–, memilih bacaan dengan tokoh anak-anak yang ditulis orang
dewasa. Dari ketiganya, Ziggylah yang termuda.
Salah satu yang membuat saya tertarik membeli Di
Tanah Lada, salah satunya karena novel ini pemenang II Sayembara Menulis DKJ
2014. Kenapa saya memilih nomor II? Ialah karena saya malah belum tahu siapa
jawaranya dan saya belum berniat googling
untuk mencari tahu jawabannya :D
Ialah Salva atau yang biasa dipanggil Ava –atau
papa sering menyebutnya Saliva. Anak perempuan berumur enam tahun yang takut
pada papanya. Karena dipikirnya, papa serupa hantu. Papa yang lebih menyukai
peruntungan lewat dadu atau kartu. Hingga memilih menghabiskan uang warisan
Kakek Kia –kakek kesayangan Ava yang menghadiahinya kamus saat ia berulang
tahun yang ketiga– , dan menjual rumah untuk pindah ke Rusun Nero yang kumuh.
Namun di sanalah petualangan seru dimulai.
Ava bertemu dengan P. Anak lelaki yang selalu lengket
dengan gitar karamelnya dan hanya menyanyikan satu-satunya lagu yang
diketahuinya, Me. P yang masih
sepuluh tahun seperti ksatria bagi Ava. Ia yang membantu memotong ayam dan
menyuapi Ava yang belum mahir makan sendiri. Ia yang mau repot melakukan banyak
hal untuk gadis kecil yang baru saja dikenalnya, lantaran ia menemukan teman
senasib, sependeritaan.
P yang romantis, meskipun ia masih bocah.
Dia tampak gembira sekali, jadi dia mengatakan hal yang mungkin menurutnya merupakan satu-satunya cara untuk membuat orang lain juga bahagia: “Kamu mau kue cubit, nggak?”
Gerobak tukang kue cubit berdiri di samping tempat fotokopi. Aku bilang, “memangnya kamu punya uang?”
Dia menggeleng. “Nggak,” katanya. “Tapi aku mau membelikan kamu semua kue cubit di dunia.”(Ava & P, hlm.113)
Hanya P yang bisa membuat Ava rela belajar untuk
bilang NGGAK dan mengikuti kemanapun bocah itu pergi.
Kemanapun...
Sebenarnya saya lebih suka membaca cerita anak
yang bahagia. Sebab dunia mereka seharusnya indah. Tapi, pada kenyataannya, ada
banyak anak-anak tak beruntung di dunia ini. Hidup dalam nestapa. Menderita
luka-luka yang justru didapatkan dari mereka yang bernama ayah atau ibu.
Dan Di Tanah Lada, Ava dan P –seperti jutaan
anak-anak lainnya– sibuk mereka-reka apa yang menjadi penyebab mereka ada tapi
tak diinginkan. Penyebab mereka dilahirkan tapi ditelantarkan. Mereka
mencari-cari alasan untuk tetap tinggal. Untuk menerima segala hal yang tak
masuk di akal.
Alasan yang dirangkai Tuhan. Alasan yang sesungguhnya.
(Ava. Hlm.226)
Hingga akhirnya mereka terus dapat bertahan atau
memilih menyerah.
waaa.. jadi pingin baca juga ka :))
BalasHapusmasukin list buku tahun ini deh, No :D
BalasHapus