Senin, 12 November 2012

[Samurangau] the unknown place



Saya jatuh cinta pada Lucerne setelah membaca Life Traveler-nya Windy Ariestanty berkali-kali. Buku itu terlihat lebih kucel ketimbang buku-buku saya yang lain. Sebut saja Lima Menara yang disangka buku baru, padahal saya sudah membelinya berbulan-bulan yang lalu sebelum bertemu dengan penulisnya.


Di dalam imajinasi saya, Lucerne adalah tempat yang menyenangkan. Sambil membaca, saya bisa membayangkan kaki saya menjejak paving block kelabu di sepanjang Rathausquai  atau menikmati suasana kota dari kafe sambil menyesap teh saya pelan-pelan.

Bila Lucerne hanyalah salah satu dari ribuan mimpi-mimpi saya yang entah kapan akan terjangkau, Samurangau menjadi tujuan perjalanan saya dalam waktu tiga bulan ke depan.

Samurangau? Nama desa itu bahkan tidak tertera di dalam peta.



Sebuah desa yang berada di tengah-tengah areal tambang batu bara di Kabupaten Paser. Rumah-rumahnya berdiri di antara kebun kelapa sawit dan karet. Desa yang dalam bayangan saya begitu ‘buruk’, hanya karena secuil informasi. Desa itu tak ada listriknya. Hidup tanpa jaringan internet saja, membuat saya menggalau. Apalagi jika tak ada listrik.

Perjalanan ke Samurangau tak pernah menjadi salah satu impian saya. Meskipun letaknya hanya sepelemparan batu dari tempat saya berpijak, tapi saya tak pernah tahu. Lebih tepatnya tak pernah mencari tahu. Tak banyak informasi yang bisa saya dapatkan ketika mengetik nama Samurangau di laman google.

Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan ketika mendapatkan kabar dari Mbak Fian (@afiani gobel) tentang Training of Facilitator yang digelar PKPU Balikpapan. Training yang ditujukan untuk memberi bimbingan kepada facilitator yang akan mendampingi pustawakan sekolah yang ditunjuk. Meskipun saya tak menyangka akan pergi sejauh itu, saya menyatakan bersedia jika ditugaskan di tempat yang jauh dari Balikpapan. Saya yang lama tak berpetualang, merasa inilah saatnya untuk sejenak keluar dari comfort zone dan melakukan sesuatu yang memacu adrenalin.

Jangan dikira, saya tak pernah dihinggapi rasa ragu. Saya lebih percaya diri ketika berpergian sendiri ke Jakarta atau kota lainnya. Jika tersesat, saya tak kesulitan mencari tempat menginap atau menghubungi teman-teman atau keluarga saya. Bagi saya, hutan lebih menakutkan. Meskipun kejahatan di kota-kota besar tetap membuat saya lebih berhati-hati.

Tapi, saya menyakinkan diri. Saya memiliki waktu luang untuk berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat. Lagipula, misi yang saya emban tak jauh-jauh dari buku dan dunia tulis menulis yang sedang saya geluti. Saya selalu miris dengan kondisi perpustakaan yang tak layak. Jika biasanya saya hanya bisa mengeluh dan mengharapkan orang lain untuk mengubahnya, inilah saatnya saya melakukannya sendiri. Seburuk apa pun kondisi dan situasi yang saya hadapi, saya menyiapkan diri. Bismillah.

Lalu tibalah hari itu... 17 Oktober 2012

Perjalanan pun dimulai!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar