Waktu itu saya sempat galau. Bagaimana enggak, kontrak saya hampir berakhir, tapi saya sama sekali belum berkesempatan mengunjungi satu pun situs bersejarah di Sendawar. Sedangkan saya belum mendapatkan kepastian apakan kontrak saya akan berlanjut di tahun depan atau tidak. Menuju Kutai Barat tidaklah murah, saya harus punya modal gede. Yang saya pikir-pikir pasti lebih senang saya gunakan untuk berlibur ke luar Kalimantan hehehehe...
Dari yang saya dengar dari CSR yang mendampingi saya, sebenarnya ada banyak tempat yang menarik, tapi karena keterbatasan waktu dan alat transport, kami belum bisa melancong ke tempat-tempat tersebut. Alhamdulillah, di saat saya pasrah karena selama tiga bulan bolak balik Balikpapan - Sendawar, saya cuman punya dua tempat tujuan: Camp Petrosea dan sekolah yang saya dampingi, kabar gembira itu pun tiba. Saya diajak ke Tanjung Isuy, perkampungan Dayak yang sering dikunjungi wisatawan dari mancanegara. CSR saya sedang ada keperluan. Kami punya alasan 'kerja' untuk berkunjung ke sana. What a great day!
Jadilah di tengah hari yang terik, kami menembus perkebunan sawit menuju Tanjung Isuy. Melewati jalan yang pada awalnya lancar jaya tapi semakin ke dalam akan semakin membuat saya deg-degan. Jalannya berliku-liku dan naik turun. Tapi, pemandangan selepas perkebunan sawit cukup menghibur jenuh. Apalagi ketika itu saya naik motor, jadi bisa merasakan benar angin yang meniup wajah saya dan bau hutan yang khas.
Setelah melewati hutan, tibalah kami di perkampungan yang didominasi oleh bangunan yang terbuat dari kayu. Tak ada lamin seperti yang saya kira. Perkampungan itu sama dengan kampung-kampung pada umumnya. Di bagian lain desa itu, terdapat penginapan-penginapan dan toko kerajinan khas Dayak seperti tenun kain ulap doyo dan sulam tumpar. Oiya, perkampungan ini dihuni oleh suku Dayak Banuaq yang dikenal sebagai suku yang enggak suka berperang. Karena itu, yang khas dari suku Dayak Benuaq ini adalah kerajinannya.
Sayangnya, harga barang-barang yang dijual bisa menguras kantong. Apalagi untuk ukuran saya yang enggak niat belanja-belanja. Mungkin untuk kain ulap doyo dan sulam tumpar yang memang DIJAMIN ASLI, harga ratusan ribu memang masuk akal. Tapi, untuk aksesoris manik-manik yang bisa dengan mudah saya beli di Kebun Sayur, rasanya kok saya enggak ikhlas mau belinya. Jadinya, saya cuman liat-liat aja. Mungkin lain kali, kalau saya berkesempatan ke sini lagi :D
Saya juga enggak sempat motret di tempat ini karena keasikan ngobrol sama pemilik toko kerajinan tangan.
Pulang dari sana, kami mengejar matahari. Sebab sebagian langit sudah tertutupi mendung pekat. Cuaca saat itu memang enggak bisa diprediksi. Saya cuman bisa menatap sendu pada jalan masuk Desa Mancong, dimana Lamin khas Dayak Banuaq berada. Tapi, daripada kehujanan, saya lagi-lagi hanya bisa pasrah karena keinginan saya enggak kesampaian.
Tapi, Allah Maha Baik. Belum jauh dari Desa Mancong, hujan mengguyur deras. Tak ada tempat berteduh, sebab di kiri kanan hanyalah hutan. Rumah-rumah penduduk sudah tidak terlihat lagi. Jadi, kami putar balik. Memutuskan berteduh dimana lagi kalau bukan di Desa Mancong. Subhanallah ya... kalau udah jodoh, mau gimana juga pasti kesampaian :D
Desa Mancong bisa dicapai dengan jalan darat atau sungai. Kalau jalan darat sudah saya rasakan, tapi katanya lebih seru menyusuri Sungai Ohong yang berliku dengan pemandangannya yang menyenangkan mata. Nah, rumah-rumah di desa ini, berada di atas air. Benar-benar terapung di saat musim hujan datang dan air memenuhi sungai. Satu rumah dengan yang lain dihubungkan dengan jembatan kayu.
Finally, saya tiba juga di lamin yang menyimpan ribuan kenangan. Bangunan panjang bertingkat dua itu tampak kesepian di tengah rinai hujan yang perlahan mereda. Kosong. Tak ada seorang pun yang saya temui di sana. Jauh dari bayangan saya tentang sebuah rumah yang ditinggali banyak keluarga. Ternyata oh ternyata orang-orang lebih suka tinggal di rumah mereka masing-masing yang berada di sekitar lamin (pengakuan ibu pemilik warung yang tepat berada di depan lamin). Jaman sudah berubah, lamin yang dulu ditinggali ratusan anggota suku, kini hanya digunakan untuk upacara adat dan festival budaya.
Lamin Mancong, yang dikenal sebagai rumah tradisional suku Dayak Benuaq, pantas juga mendapat perhatian. Menurut penduduk, bangunan itu berumur 360-an tahun. Namun, seperti dikatakan Lasak, penduduk berusia 70, lamin itu tak sepenuhnya bergaya Dayak. Bangunan yang luas seluruhnya 732,55 m2 itu sudah berulang kali mengalami pemugaran - dan tentunya perubahan. Setahu Lasak, pemugaran terakhir dilakukan tahun 1925 - besar-besaran. Welling membenarkan: Lamin Mancong tidak lagi sepenuhnya mengikuti prinsip bangunan rumah panjang Dayak. Tandanya: ia bertingkat, sementara rumah panjang tak ada yang bertingkat. Namun, justru itulah yang menarik. Lamin itu menunjukkan percampuran beberapa gaya arsitektur kayu, khususnya bangunan tradisional Dayak dan corak arsitektur bergaya Melayu. (http://arkadiuselly.blogspot.com/2011/04/kisah-penyelamatan-lamin-mancong.html)
Itulah sedikit cerita saya tentang Lamin Mancong. Saya masih kepengen sekali lagi pergi ke sini. Dengan waktu yang lebih leluasa hingga mendapatkan lebih banyak cerita tentang masa lalu yang masih bertahan di kekinian. Dan lain kali, saya ingin melewati jalur sungai. Lebih mengasikkan, walaupun... saya agak kuatir dengan mabuk sungai yang mungkin bakal saya alami kekekeke...
03 Des 2013 / 13 Jun 2014
Lamin Mancong yah, baru minggu lalu ke sana, dan masih kepengen kembali lagi, kembali membawa peralatan foto yang mumpuni.. terimakasih sudah memposting soal lamin mancong, sekalian minta izin nih, buat mengutip beberapa point tentang Lamin Mancong untuk kami post ke web Promosi Kutai Barat. di johntawicenter.blogspot.com
BalasHapusSilahkan mengambil kutipannya, mas john tawi. terima kasih sudah berkunjung :)
Hapus