Winna Efendi is one of my favorite authors.
Selalu bisa bikin saya rela begadang dan mengantuk keesokan harinya hanya untuk menamatkan ceritanya sampai ke halaman terakhir.
Sebenarnya, saya beli novel ini by accident di www.bukabuku.com. Tadinya saya kepincut sama Sang Penandai punya Tereliye. Tapi, karena stoknya belum ada, saya diminta untuk mengganti atau membatalkan orderan saya. Karena malas menunggu dan sayang banget kalau musti refund, akhirnya saya ingat kalau saya belum punya novel Winna Efendi yang terbaru.
Awalnya saya mengira Winna akan bercerita tentang ibu karena saya salah menafsirkan kalimat... Dia yang tangannya sekasar serat kayu, tetapi memiliki sentuhan sentuhan sehangat sinar matahari. Ternyata saya salah, Winna bercerita tentang ayah.
Orang favoritku di seluruh dunia, kata Lulu.
---
Membaca novel ini berarti saya kembali pada masa-masa dimana papa saya sakit. Cukup lama. Bertahun-tahun malah. Sampai-sampai saya pernah berdoa pada Tuhan agar mengusaikan kisahnya sesegera mungkin. Ketika itu saya marah, sedih, takut, kasihan dan tidak tega melihatnya setiap malam duduk di sofa ruang tamu kami dalam gelap karena tidak bisa tidur.
Saya tahu, kemarahanlah yang paling mendominasi.
Karena papa bukanlah ayah yang saya 'inginkan'.
Kenapa saya punya papa pelaut yang jauh dari rumah selama berbulan-bulan dan tak pernah ada ketika saya membutuhkannya?
Kenapa saya punya papa yang enggak sekeren teman-teman saya?
Kenapa saya punya papa yang ketika benar-benar meninggalkan laut, malah membawa sakitnya pulang ke rumah?
Kenapa....
Kenapa....
Ada banyak kenapa yang membuat saya 'buta' melihat cintanya.
I had to struggle for few years to handle it.
Lalu sebuah nasehat membantu saya meretakkan bongkahan kemarahan yang lama saya simpan di dalam hati.
....kalau kau tidak menyukai seseorang, ingatlah kebaikan-kebaikannya....
Itu bukanlah nasehat yang mudah untuk orang yang keras kepala seperti saya. Meskipun saya tidak menuliskannya, saya mulai mengingat satu persatu bentuk kasih sayang yang pernah saya terima. Saya tahu, saya tidak akan pernah bisa menghitungnya. Tapi, saya membutuhkannya sebagai pereda kemarahan yang masih bercokol di benak saya.
Saya punya papa hebat, lelaki yang mencintai laut dan berani menantang badai dan gelombang demi menghidupi anak istrinya.
Saya punya papa penyabar yang tidak pernah memaksakan kehendak-kehendaknya. Saya bebas menjadi apa dan siapa.
Saya punya papa yang enggak pernah malu hanya karena saya punya tiga angka lima di rapor untuk pelajaran matematika, fisik dan kimia.
Saya punya papa yang mencintai Tuhan dengan seluruh jiwa raganya. Tak peduli demam tinggi atau tidak bisa bangun dari tempat tidur sekalipun, ketika adzan berkumandang, akan segera mengambil wudhu lalu shalat.
Satu nasehat yang tertulis di surat papa untuk mama (ketika saya kecil, alat komunikasi kami hanyalah berlembar-lembar surat ketika papa harus berlayar ke segala penjuru nusantara) yang masih saya ingat benar adalah....
'Selalulah rendah hati dan bukannya rendah diri'
Seolah-olah papa sudah menyiapkan kami sedari kecil agar tetap bangga pada keluarga kami yang sederhana. Sebab bukan mudah ketika kau yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja berada di tengah-tengah anak keluarga berada.
Saya tahu, saya tidak sempat menunjukkan betapa saya meyayanginya dengan cara yang benar. Penyesalan itu akan selalu ada.
---
Meskipun Happily Ever After bukan novel favorit dari semua karya Winna Efendi, tapi yang satu ini membuat saya kembali mengerang iri pada Lulu. She has a lot of wonderful moment with her father. Dongeng-dongeng indah sebelum tidur. Percakapan-percakapan yang kelak akan dirindukan. Pengalaman-pengalaman menyenangkan yang susah untuk dilupakan.
-end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar