Rabu, 19 Oktober 2016

(BOOK) Puisi Langit Terindah: peREmpuan



Saya seolah masuk rumah lewat pintu belakang karena membaca peREmpuan terlebih dahulu ketimbang Re:.

Re:, perempuan yang memiliki kisah hidup yang malang. Terjebak dalam ‘kebaikan’ Mami Lani yang ternyata mewujud berlembar-lembar catatan utang yang harus dibayar dengan cara melacur. Ketika mampu melunasi hutang dan berencana melepaskan diri dari majikannya itu, hidup RE: justru berakhir. Tersalib di tiang listrik dengan banyak luka sayatan di tubuhnya.


Re: melahirkan seorang putri bernama Melur. Setelah beberapa bulan menyusui sang buah hati, Re: harus rela melepasnya untuk diadopsi pasangan suami istri Marlina dan Sutadi. Melur yang kemudian tumbuh menjadi dewasa, meraih gelar PhD in economics di salah satu universitas di Jepang pun mengetahui siapa ibu yang telah melahirkannya. Masa lalu sang ibu mengenalkannya pada kata balas dendam. Menuntut keadilan untuk satu kematian yang terlupakan.

Re: memang telah tiada, namun bagi Herman, Re: selalu hidup dalam kenangannya. Masa dua puluh enam tahun tidak membuatnya melupakan perempuan yang membuatnya jatuh cinta setengah mati.

***

Membaca peREmpuan, saya cemburu pun pada Re:

Dia beruntung sebab memiliki impian semua perempuan: ingin dicintai sepenuh hati.  Terlepas dari pekerjaannya yang ‘berlumur dosa’, Re: adalah sosok yang cerdas, baik hati, positif dan penyayang. Re: bisa melihat setitik cahaya di tempat yang gelap. Mensyukuri hal-hal kecil yang kebanyakan dilupakan orang sebagai nikmat dari Tuhan.

“Dari kacamata orang yang sudah tidak boleh minum teh manis karena diabetes. Dari mata orang miskin yang bahkan untuk mendapatkan kue pancong pun harus mengorek-ngorek tempat sampah, mencari sisa makanan yang tidak bisa dibelinya. Dari orang yang kena kencing batu dan menangis setiap mau kencing, karena kencingnya berwarna merah dan bercampur nanah”
Hal. 102

“Selama masih ada yang saya nikmati,” lanjut Re: setelah menghabiskan teh manisnya, “Selama itu saya masih bisa menemukan harta karun. Masih bisa merasakan lezatnya hidup. Saya tidak tahu, apakah ini yang namanya bersyukur. Yang saya tahu, kalau saya berpikir lezat maka lezat. Kalau saya berpikir pahit, maka pahit.”
Hal. 103

Jika di BOKIS, Kang Maman membuat saya gemes karena berusaha menebak-nebak siapa tokoh yang sedang beliau ceritakan, pada peREmpuan saya lebih banyak merenung dengan mata berkaca-kaca. Perempuan selalu memiliki kisahnya masing-masing, namun pada mereka yang tangguh saya selalu bercermin bahwa masalah-masalah yang saya hadapi terkadang tidak ada apa-apanya. Malahan saya kerap merasa menjadi orang paling nelangsa se-dunia.

peREmpuan juga membangkitkan kemarahan yang lalu hanya bisa menguap. Perasaan yang sama seperti ketika saya membaca Existere Sinta Yudisia. Betapa banyak perempuan yang terjerat dalam ketidak berdayaan, yang terkadang mendapatkan penghakiman hanya karena pekerjaan yang mereka harus lakoni. Kebanyakan dari kita menganggap mereka enggan berhenti dari melakukannya tapi tak semua sanggup membayar dengan nyawa jika harus terbebas dari dunia kelam itu, bukan?

Hanyalah sebait doa, jika kita sempat mengingatnya, untuk mereka agar menemukan jalan pulang.

***

Terima kasih, Kang Maman untuk menuliskan kisah Re:
Sesekali, kami –sesama perempuan– perlu mengetahui sisi lain dari kehidupan ini yang tak melulu dihiasi warna-warna pelangi. Namun ada pula warna-warna gelap, sampai-sampai harapan melihat setitik cahaya pun hanya sebuah ilusi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar