Saya seolah masuk rumah
lewat pintu belakang karena membaca peREmpuan terlebih dahulu ketimbang Re:.
Re:, perempuan yang
memiliki kisah hidup yang malang. Terjebak dalam ‘kebaikan’ Mami Lani yang
ternyata mewujud berlembar-lembar catatan utang yang harus dibayar dengan cara melacur.
Ketika mampu melunasi hutang dan berencana melepaskan diri dari majikannya itu,
hidup RE: justru berakhir. Tersalib di tiang listrik dengan banyak luka sayatan
di tubuhnya.
Re: melahirkan seorang
putri bernama Melur. Setelah beberapa bulan menyusui sang buah hati, Re: harus
rela melepasnya untuk diadopsi pasangan suami istri Marlina dan Sutadi. Melur
yang kemudian tumbuh menjadi dewasa, meraih gelar PhD in economics di salah satu universitas di Jepang pun mengetahui
siapa ibu yang telah melahirkannya. Masa lalu sang ibu mengenalkannya pada kata
balas dendam. Menuntut keadilan untuk satu kematian yang terlupakan.
Re: memang telah tiada,
namun bagi Herman, Re: selalu hidup dalam kenangannya. Masa dua puluh enam
tahun tidak membuatnya melupakan perempuan yang membuatnya jatuh cinta setengah
mati.
***
Membaca peREmpuan, saya
cemburu pun pada Re:
Dia beruntung sebab memiliki
impian semua perempuan: ingin dicintai sepenuh hati. Terlepas dari pekerjaannya yang ‘berlumur dosa’,
Re: adalah sosok yang cerdas, baik hati, positif dan penyayang. Re: bisa
melihat setitik cahaya di tempat yang gelap. Mensyukuri hal-hal kecil yang
kebanyakan dilupakan orang sebagai nikmat dari Tuhan.
“Dari kacamata orang yang sudah tidak boleh minum teh manis karena
diabetes. Dari mata orang miskin yang bahkan untuk mendapatkan kue pancong pun
harus mengorek-ngorek tempat sampah, mencari sisa makanan yang tidak bisa
dibelinya. Dari orang yang kena kencing batu dan menangis setiap mau kencing,
karena kencingnya berwarna merah dan bercampur nanah”
Hal. 102
“Selama masih ada yang saya nikmati,” lanjut Re: setelah menghabiskan teh
manisnya, “Selama itu saya masih bisa menemukan harta karun. Masih bisa
merasakan lezatnya hidup. Saya tidak tahu, apakah ini yang namanya bersyukur. Yang
saya tahu, kalau saya berpikir lezat maka lezat. Kalau saya berpikir pahit,
maka pahit.”
Hal. 103
Jika di BOKIS, Kang Maman membuat saya gemes karena berusaha
menebak-nebak siapa tokoh yang sedang beliau ceritakan, pada peREmpuan saya
lebih banyak merenung dengan mata berkaca-kaca. Perempuan selalu memiliki
kisahnya masing-masing, namun pada mereka yang tangguh saya selalu bercermin
bahwa masalah-masalah yang saya hadapi terkadang tidak ada apa-apanya. Malahan saya
kerap merasa menjadi orang paling nelangsa se-dunia.
peREmpuan juga membangkitkan kemarahan yang lalu hanya bisa menguap. Perasaan
yang sama seperti ketika saya membaca Existere Sinta Yudisia. Betapa banyak
perempuan yang terjerat dalam ketidak berdayaan, yang terkadang mendapatkan
penghakiman hanya karena pekerjaan yang mereka harus lakoni. Kebanyakan dari
kita menganggap mereka enggan berhenti dari melakukannya tapi tak semua sanggup
membayar dengan nyawa jika harus terbebas dari dunia kelam itu, bukan?
Hanyalah sebait doa, jika kita sempat mengingatnya, untuk mereka agar
menemukan jalan pulang.
***
Terima kasih, Kang Maman untuk menuliskan kisah Re:
Sesekali, kami –sesama perempuan– perlu mengetahui sisi lain dari
kehidupan ini yang tak melulu dihiasi warna-warna pelangi. Namun ada pula
warna-warna gelap, sampai-sampai harapan melihat setitik cahaya pun hanya
sebuah ilusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar